Tuesday, November 28, 2006

KASEPUHAN (CIREBON)


Kraton KASEPUHAN


Kalangan kesultanan di Cirebon meyakini, pendiri Cirebon adalah Pangeran Walangsungsang. Ia kemudian digantikan oleh Syarif Hidayatullah yang kemudian dikenal sebagai Sunan Gunung Jati yang lahir pada 1448. Dialah yang membangun kesultanan tersebut. Ayahnya ulama dari Timur Tengah, sedang ibunya dipercaya sebagai putri Raja Pajajaran.

Sunan Gunung Jati mempunyai ikatan erat dengan Demak. Jika di Demak posisi "raja" dan "ulama" terpisah, Sunan Gunung Jati adalah "raja" sekaligus "ulama". Ia mengenalkan Islam pada masyarakat di wilayah Kuningan, Majalengka hingga Priangan Timur. Bersama kerajaan Mataram, Kesultanan Cirebon mengirim ekspedisi militer untuk menaklukkan Sunda Kelapa (kini Jakarta) di bawah Panglima Fadhillah Khan atau Faletehan, pada 1527.

Sekitar tahun 1520, Sunan Gunung Jati dan anaknya, Maulana Hasanuddin melakukan ekspedisi damai ke Banten. Saat itu kekuasaan berpusat di Banten Girang di bawah kepemimpinan Pucuk Umum -tokoh yang berada di bawah kekuasaan Raja Pakuan, Bogor. Pucuk Umum menyerahkan wilayah itu secara sukarela, sebelum ia mengasingkan diri dari umum. Para pengikutnya menjadi masyarakat Badui di Banten, sekarang. Maulana Hasanuddin lalu membangun kesultanan di Surosowan, dan Sunan Gunung Jati kembali ke Cirebon.

Setelah Raden Patah meninggal, begitu pula Dipati Unus yang menyerbu Portugis di Malaka, kepemimpinan dilanjutkan oleh Sultan Trenggono. Sunan Gunung Jati-lah yang menobatkan Sultan Trenggono. Anaknya, Maulana Hasanuddin dinikahkan dengan Ratu Nyawa, putri Sultan Demak itu. Mereka dikaruniai dua anak, Maulana Yusuf dan Pangeran Aria Jepara -nama yang diperolehnya karena ia dititipkan pada Ratu Kalinyamat di Jepara.

Di Cirebon, dalam usia lanjut Sunan Gunung Jati menyerahkan keraton pada cicitnya, Panembahan Ratu. Setelah itu, kesultanan dipegang oleh putranya, Pangeran Girilaya. Setelah itu Cirebon terbelah. Yakni Kesultanan Kasepuhan dengan Pangeran Martawijaya Samsuddin sebagai raja pertamanya, dan Kasultanan Kanoman yang dipimpin Pangeran Kartawijaya Badruddin. Pada 1681, kedua kesultanan minta perlindungan VOC. Posisi Cirebon tinggal sebagai simbol, sementara kekuasaan sepenuhnya berada di tangan VOC.

Sementara itu, Banten justru berkembang menjadi pusat dagang. Maulana Hasanuddin meluaskan pengembangan Islam ke Lampung yang saat itu telah menjadi produsen lada. Di Banten tumbuh tiga pasar yang sangat sibuk. Ia wafat pada 1570. Sedangkan putranya, Maulana Yusuf menyebarkan Islam ke pedalaman Banten setelah ia mengalahkan kerajaan Pakuan pada 1579. Maulana Muhammad -putra Maulana Yusuf-tewas saat mengadakan ekspedisi di Sumatera Selatan (1596), kesultanan lalu dipegang Sultan Abdul Mufakir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651).

Pada masa itulah, kapal-kapal Belanda dan Portugis berdatangan ke Banten. Demikian pula para pedagang Cina. Ketegangan dengan Kesultanan Banten baru terjadi setelah Sultan Abdul Mufakir wafat, dan digantikan cucunya Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu, Sultan Ageng didampingi ulama asal Makassar Syekh Yusuf. Tokoh ini berperan besar dalam perlawanan Kerajaan Gowa (Makassar) di bawah Sultan Hasanuddin terhadap VOC. Sultan Ageng Tirtayasa yang menganggap kompeni menyulitkan perdagangan Banten, memboikot para pedagang Belanda.

Persoalan muncul setelah Sultan Ageng Tirtayasa menyerahkan kekuasaan pada anaknya yang baru pulang berhaji, Abdul Kohar Nasar atau Sultan Haji (1676). Sultan Haji lebih suka berhubungan dengan kompeni. Ia memberi keleluasaan pada Belanda untuk berdagang di Banten. Sultan Ageng Tirtayasa tak senang dengan kebijakan itu. Para pengikutnya kemudian menyerang Istana Surosowan pada 27 Februari 1682. Sultan Haji pun minta bantuan dari Belanda. Armada Belanda -yang baru mengalahkan Trunojoyo di jawa Timur-dikerahkan untuk menggempur Sultan Ageng Tirtayasa.

Para pengikut Sultan Ageng Tirtayasa pun menyebar ke berbagai daerah untuk berdakwah. Syekh Yusuf lalu dibuang ke Srilanka -tempat ia memimpin gerakan perlawanan lagi, sebelum dibuang ke Afrika Selatan. Di tempat inilah Syekh Yusuf menyebarkan Islam. Sedangkan Banten jatuh menjadi boneka Belanda. Daendels yang membangun jalan raya Anyer-Panarukan kemudian memindahkan pusat kekuasaan Banten ke Serang. Istana Surosowan dibakar habis pada 1812.





Kraton Cirebon yang tertua disebut dengan keraton Kasepuhan. Sebuah keraton yang sekaligus juga menyimpan sejarah cikal bakal kemaritiman negara kita. Memang maritimnya begitu di segani sejak dua abad lalu.

Kraton Kasepuhan terletak di pusat kota,tepatnya tiga kilometer dari stasiun kereta api atau sekitar sepuluh menit dengan naik kendaraan umum. Keraton Kasepuhan menghadap ke utara dengan alun-alun berbentuk lapangan persegi dan dikelilingi jalan. Keraton ini dahulu biasa digunakan sebagai tempat berkumpulnya masyarakat yang berhubungan dengan acara kesultanan.

Di sebelah barat alun-alun keraton, terdapat Mesjid Agung " Sang Cipta Rasa" yang didirikan tahun 1498 yang pembangunannya dipimpin oleh Sunan Kalijaga dengan arsitek Raden Sepet dari Majapahit yang juga merupakan arsitek bangunan Mesjid Demak.

Keraton Kasepuhan yang didirikan di atas tanah seluas 25 hektar, sekarang terlihat menyerupai pura kuno ditengah bangunan-bangunan modern yang ada di sekitarnya. Kraton Kasepuhan dibangun pada tahun 1529 oleh Sunan Gunung Jati ( Syarif Hidayatullah ) dengan perpaduan unsur kebudayaan Islam dan Hindu. Kraton ini begitu menyimpan rapi rahasia sejarah kejayaan Cirebon di masa lalu.

Konon, bentuk awal keraton Kasepuhan berupa bangunan tanpa dinding. Bangunan kraton membujur dari utara ke selatan. Disini menggambarkan bahwa sang raja mengharapkan kekuatan. Pada pintu masuk, akan terlihat sebuah gapura yang terbuat dari bata merah dan dihiasi berbagai keramik dari Portugis, Belanda dan Cina.

Pembuatannya dengan menggunakan teknik Kuta Kusod, suatu teknik bangunan dengan mengusapkan tangan di permukaan bata agar merekat dengan kuta. Untuk menuju ke siti inggil (tanah tinggi), aku melewati sebuah gapura yang berada di teras pertama, Dimana didalamnya terdapat lima bangunan yang mengandung makna dan fungsi. Misalkan saja bangunan Mande Semar Tinandu yang bertiang dua, yang melambangkan dua kalimat syahadat dan digunakan untuk penasihat Sultan.

Sedangkan Mande Malang Semirang, di tengahnya terdapat enam tiang berukir, yang melambangkan Rukun Iman. Bangunan ini juga dikelilingi oleh 20 tiang, yang melambangkan 20 sifat Tuhan. Tempat ini dikhusus kan untuk sang Raja saat melihat acara di alun-alun. Kemudian Pandawa Lima, yang bertiang lima melambangkan Rukun Islam. Digunakan sebagai tempat pengawal raja.

Dalam bangunan keempat ini, Mande Karesmen, dikhusukan untuk kesenian dan digunakan hanya untuk membunyikan gamelan Sekaten setiap tanggal 1 Syawal dan 10 Dzulhijah setelah Sholat Ied. Saat gamelan akan ditabuh, bangunan ini akan dihiasi oleh daun-daun pohon Tanjung yang diambil dari kompleks Keraton.

Bangunan kelima disebut juga sebagai Mande Pengiring, tempat bagi para prajurit pengiring raja sekaligus tempat hakim menyidangkan terdakwa yang dituntut hukuman mati. Selain kelima bangunan tersebut, di area ini terdapat pula meja batu dari Kalingga buah tangan Raffles --Gubernur Jenderal Inggris yang pernah berkuasa di Nusantara pada abad ke 18. Batu tersebut melambangkan Adam-Hawa (pria-wanita). Lahan disekitarnya ditanami pohon sawo kecik, untuk mengingatkan agar manusia berkelakukan baik dan benar (becik/benar).

Sementara itu di sudut pelataran ditanami pohon Tanjung, perlambang Nanjung dalam bertahta (artinya raja harus mengetahui penderitaan rakyatnya). Keraton Kasepuhan dilengkapi pula oleh sebuah mushola bernama Langgar Agung yang dibangun pada 1529. Langgar Agung merupakan tempat penyelenggaraan upacara sakral, seperti Upacara Panjang Jimat. Disini pula benda-benda pusaka kraton disucikan.

MESKIPUN Keraton Kasepuhan yang didirikan oleh Sunan Gunungjati merupakan kerajaan Islam, namun kereta Singo Barong buatan tahun 1549 atas prakarsa Raja Cirebon Panembahan Ratu Pakungwati I (1526-1649), adalah bukti betapa terbukanya Cirebon tempo itu dalam pergaulan antarbangsa, yang sama sekali tidak mengindahkan suku, ras, atau agama.

Kereta Singa Barong yang sampai kini masih terawat bagus itu, merupakan refleksi dari persahabatan dengan bangsa-bangsa. Wajah kereta ini merupakan perwujudan tiga binatang yang digabung menjadi satu, gajah dengan belalainya, bermahkotakan naga dan bertubuh hewan burak. Belalai gajah merupakan persahabatan dengan India yang beragama Hindu, kepala naga melambangkan persahabatan dengan Cina yang beragama Buddha, dan badan burak lengkap dengan sayapnya, melambangkan persahabatan dengan Mesir yang beragama Islam.

Kereta ini orisinal buatan para ahli kereta Keraton Kacirebonan. Ini penggambaran bahwa pengetahuan teknologi orang Cirebon tempo dulu cukup tinggi. Ini sekaligus merupakan kelebihan Kerajaan Cirebon dibanding keraton-keraton sebelumnya atau sesudahnya, yang mengimpor kereta dari Inggris, Belanda, atau Perancis. Kereta ini cukup layak dalam segi teknologi kereta yang merupakan titihan (kendaraan) raja-raja.

Singa Barong telah mengenal teknologi suspensi dengan menyusun pir (pegas) lempengan besi yang dilapisi karet-karet pada empat rodanya. Dengan teknologi suspensi ini, di samping kereta bisa merasa empuk, badan kereta juga bisa bergoyang-goyang ke belakang dan ke depan. Bergoyangnya tubuh kereta ke depan dan ke belakang bisa membuat sayap kereta bergerak-gerak. Itu sebabnya jika kereta ini berjalan, binatang bertubuh burak, berkepala gajah, dan bermahkota naga itu tampak seperti terbang. Terlihat megah ketika sang raja sedang berada dalam kereta itu.


KERETA ini dibuat oleh seorang arsitek kereta Panembahan Losari dan pemahatnya Ki Notoguna dari Kaliwulu. Pahatan pada kereta itu memang detail dan rumit. Mencirikan budaya khas tiga negara sahabat itu, pahatan wadasan dan megamendung mencirikan khas Cirebon, warna-warna ukiran yang merah-hijau mencitrakan khas Cina.

Tiga budaya (Buddha, Hindu, dan Islam) itu menjadi satu digambarkan prinsip trisula dalam belalai gajah. Tri berarti tiga, dan sula berarti tajam. Artinya, tiga kekuatan alam pikiran manusia yang tajam yaitu cipta, rasa, dan karsa. Cipta, rasa, dan karsa dimaksudkan sebagai kebijaksanaan berasal dari pengetahuan yang dijalankan dengan baik.

Kereta ini dulu digunakan oleh raja untuk kirab keliling Kota Cirebon tiap tanggal 1 Syura atau 1 Muharram dengan ditarik empat kerbau bule. Penggunaan kereta untuk kirab yang berlangsung setahun sekali itu berlangsung turun-temurun, mulai Panembahan Ratu Pakungwati I (1526-1649). Kereta ini baru berhenti digunakan untuk kirab tahun 1942, karena kondisinya yang sudah tidak memungkinkan lagi.

Kereta itu kini tersimpan di museum kereta yang terletak di sisi bangunan Taman Dewandaru Keraton Kasepuhan Cirebon. Kereta ini benar-benar tidak diperbolehkan lagi keluar, dalam acara apa pun, selain dibersihkan setiap bulan Syura atau Muharam. Bahkan, ketika dilakukan pameran antarkeraton se-Indonesia di Cirebon beberapa tahun lalu, yang dipamerkan adalah duplikat kereta yang bentuk maupun rupanya mirip.


KERETA Singa Barong menunjukkan ketulusan seorang raja seperti Panembahan Ratu Pakungwati I, raja keempat Kesultanan Cirebon itu. Karya untuk pribadi, seperti kereta itu, tidak direka dengan semata-mata imaji selera, tetapi juga didasarkan pada rasa. Rasa persahabatan dengan bangsa lain yang begitu melekat dihatinya dimanifestasikan dalam bentuk kereta itu.

Di dalam museum kereta itu juga terdapat dua buah tandu jumpena buatan Cina, yang dipersembahkan oleh dua sahabat raja, Kapten Tan Tjoeng dan Kapten Tan Boen Wee, tahun 1676. Tandu ini digunakan untuk permaisuri dan putra mahkota saat raja melakukan kirab keliling Cirebon. Tandu unik Garuda Mina buatan Palimanan, Cirebon, tahun 1777 juga terdapat di museum kereta ini. Tandu berkepala naga dan bertubuh ular ini digunakan untuk anak raja yang akan dikhitankan.

Sejumlah pedang buatan Portugis dan Belanda berjajar di belakang Kereta Singa Barong, juga dua buah meriam berkepala naga buatan Mongolia tahun 1942. Semua tampak menunjukkan kebesaran Cirebon tempo dulu.

Kebesaran Cirebon bisa dilihat lebih jelas lagi ketika menyaksikan museum yang menyimpan benda-benda keraton yang masih tersisa. Di situ berisi seperangkat gamelan Degung persembahan Ki Gede Kawungcaang Banten tahun 1426, karena putrinya Dewi Kawung Anten dinikahi oleh Sunan Gunungjati. Di dalam museum juga terdapat benda-benda klasik mulai awal abad XV dari berbagai negara di dunia, mulai dari perhiasan, pusaka tombak dan keris yang jumlahnya ratusan, juga perhiasan, busana, mabeler, ukiran kayu, dan pakaian perang prajurit Cirebon.

Halaman ini kami serahkan kepada kerabat Kasepuhan untuk menambahkannya....

No comments: